Senin, 23 Maret 2015

adopsi anak

memang masih ada hubungan dengan tulisan yang sebelumnya..

mengingat usia pernikahan kami yang sudah menjelang tujuh tahun, dan sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda bakal diberi momongan oleh Yang Kuasa, akhirnya saya dan istri memutuskan untuk mempertimbangkan mengangkat anak (adopsi). 

bukan suatu kebetulan, memang sudah digariskan.. satu saat saya sangat berkeinginan menyegerakan untuk melaksanakan niat tersebut, pas pulang kerja, istri saya memberitahu bahwa di sekolah ada yang nawarin bakal bayi yang dapat kami asuh. kejadian itu kurang lebih sudah dua bulan yang lalu, ketika si calon jabang bayi udah berusia jalan delapan bulan.

setelah cerita itu, tak disangka, teman istri yang berdomisili di bandung juga memberi tahu kalau ada seseorang yang berkeingingan untuk menyerahkan bayi yang dikandungnya. tapi, untuk tawaran yang kedua ini, si calon jabang bayi baru berusia kurang lebih empat bulan di kandungan. dan setelah ditanya-tanya, kok asal-usulnya belum jelas bener. so... sepertinya kami lebih cenderung kepada siapa yang memberi penawaran terlebih dahulu.

niat awal sih, memang saya merasa belumlah lengkap apabila pernikahan belum mempunyai momongan. tapi apabila melihat apa yang ada pada diri kami yang memang pada kenyataanya belum ada tanda-tanda, akhirnya kami berfikir, mungkin memang pernikahan kami ada untuk berusaha membahagiakan mereka. iya... salah satu dari mereka yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. itu aja prinsip kami.

bukan untuk 'mancing' anak, istilah kebanyakan orang bilang. bukan sama sekali! ya walaupun nantinya andai itu terjadi, kami akan tetap mensyukurinya dan inshaAlloh tidak akan menelantarkan 'kakak pertamanya'. 

yang bikin degdegannya adalah.. ketika udah menjelang hari-hari kelahiran gini. sepertinya ada ujian yang siap menghadang. kami berusaha untuk terbuka pada semua orang tentang rencana kami, khususnya tetangga-tetangga, agar tidak ada omongan miring ke depannya. 

ujian pertama datang ketika kami hendak untuk tetap menuliskan nama bapak dan ibu kandungnya pada akte kelahiran si bocah. menurut kami, itu adalah jalan yang sangat fair bagi kami - calon orang tua angkatnya -, bagi orang tua kandung, dan bagi si bocah itu sendiri. kami tidak hendak untuk memutuskan nasabnya dan berusaha untuk terus menjalin tali silaturahmi. agar hubungan antara anak dan bapak ibu kandungnya tidak hilang. karena kami sangat sadar bahwa memutuskan nasab dan tali silaturahmi sangat dilarang dalam agama kami. 
walaupun demikian, kami tetap akan memasukkan nama dia dalam daftar kartu keluarga kami. karena untuk kemudahan bagi dia kelak, saat mulai proses sekolah dan seterusnya.

mulailah kami gugling cara adopsi anak yang benar menurut hukum positif di negeri ini. bagaimana prosedurnya, apa saja syarat-syaratnya, berkas apa saja yang harus dilengkapi. hanya satu yang belum ketemu, berapa tarifnya? gugling sana-sini, sampai saat ini belum ketemu juga berapa sebenarnya biayanya.

"sepuluh juta.." kata 'aparat' pengadilan yang dikenal oleh pak rt.
"haaa?? apa ga kemahalan, pak?" bu rt yang kaget mendengar biaya menurut oknum tersebut, memastikan dia tidak salah dengar.
"yee, ibu belum tau. kita akan liat dulu siapa yang akan mengadopsi. kalau memang mampu, bisa lebih mahal lagi.." balas aparat tadi.

heh?? sumpah, saya engga kaget. sekali lagi, engga kaget. saya udah siap dengan jawaban seperti yang diceritakan pak dan bu rt semalam kepada kami. karena memang potret peradilan di negeri yang rumit ini masih sangat buram. sampai teman saya bilang, 'kalau bisa seumur hidup, jangan sampai berhubungan dengan hukum'. hukum yang dia maksud adalah pengadilan. mungkin saking antipatinya sama lembaga tersebut.

"yaa.. kalau memang engga mau ribet, setelah lahir langsung aja tulis di aktenya sebagai anak kandung si orang tua angkat. atau ke kantor aja, nanti kita 'bantu'!".
cerita bu rt melanjutkan..

kata-kata terakhir 'bantu' itu.. hmm. 
otak saya selalu berpikir bahwa 'bantu' itu selalu ada embel-embelnya. jaman sekarang mana ada sih yang gretongan.

kami berfikirnya, mo konsultasi dengan 'tetangga' yang bekerja di pengadilan, maka akan diarahkan untuk melengkapi ini dan itu, mendapatkan penjelasan prosedur yang harus kami ikuti. tapi yang kami dapat adalah langsung sebut angka dan sebuah kata, yaitu 'bantu'.
"seolah masuk dalam mulut macan", kata isti saya. "tinggal dimakan aja..." lanjutnya.

kami pengen jalan yang benar untuk menadopsi anak, sesuai hukum positif yang berlaku. tapi kok ya ada aja oknum yang seperti ini. apa mungkin satu lembaga mentalnya seperti ini semua? tentu saya berharap tidak demikian. padahal saya tau persis, bahwa lembaga ini telah mendapatkan remunerasi dengan embel-embel reformasi birokrasi, yang dengannya diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat ditingkatkan. tapi kok engga ada perubahan. diberi atau tidak diberi remunerasi, praktik kotor tetap jalan. pemberian remunerasi lembaga mereka, rupanya tidak diiringi dengan perubahan mindset pegawainya, penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis, dan manajemen sumber daya manusia yang baik. hanya berdasarkan rasa iri atas apa yang diterima oleh kementerian keuangan. suudzon saya aja sih hehe. salut dengan ibu sri mulyani indrawati. jadi kangen sama beliau. ^_^

saya mulai bimbang gimana ke depannya. akankah tetap keukeuh dengan pendirian kami, dengan menempuh jalur peradilan yang masih kotor? atau lewat 'jalan belakang' karena jalan utama sudah tidak memungkinkan untuk dilalui. 

mungkin jalan yang terbaik di jaman kotor ini adalah... biarlah, akte kelahiran tetap menuliskan dia adalah anak kandung kami, begitu juga dengan kartu keluarga. walaupun kami mengingkarinya. walaupun kami akan tetap menyayanginya seperti anak kandung kami sendiri. yang jelas, niat kami udah jelas, inshaAlloh Dia telah mencatatnya, akan terbuka setiap saat kepadanya. tidak menghalangi antara dia dengan kedua orang tuanya, selamanya. inshaAlloh.

semoga, kelak di satu saat bila dia telah dewasa, bisa merubah negara ini. merubah dari hal-hal terkecil seperti yang saya ceritakan di atas.. semoga. 

kami berharap, itu kamu, nak...

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar